ALKISAH, seorang Arab
Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba
meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika
ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia
mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika
kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia
berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia
bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki
telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat,
dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang
mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan
karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung
pada punggung unta.
"Bapak, katakan apa
yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu.
"Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu
lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung
unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi
nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya
ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia
dapat berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia
tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya
berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan
segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya
pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat
mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."
Orang asing itu menarik
nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang
sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki
telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda
peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran
dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa.
Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri,
melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang
kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat.
Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku.
Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu
itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum
dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan
yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan;
saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun
saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti
kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi,
yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus
kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita
ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
Jika
kau ingin derita
benar-benar
hilang dari hidupmu
Berjuanglah
untuk melepaskan
'kebijakan'
dari kepalamu
Kebijakan
yang lahir dari tabiat insani
tak
menarik kamu lebih dari khayalan
Karena
kebijakan itu tidak diberkati
yang
mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya
Pengetahuan
tentang dunia
hanya
memberikan dugaan dan keraguan
Pengetahuan
tentang Dia, kebijakan ruhani sejati
membuatmu
naik keatas duniawi
Para
ilmuwan masa kini telah menghempaskan
semua
pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka
sembunyikan hati
dalam
kecerdikan dan permainan bahasa
Raja
sejati adalah dia
yang
menguasai pikirannya
Bukan
dia yang pikirannya
Menguasai
dunia dan dirinya
Rumi menunjukkan bahwa
dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek
mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu mencerap Tuhan
yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan
memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang
didefinisikan.
Rumi mewakili para sufi
yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta,
bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan;
mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan
mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah
dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e
Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb
dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu
dan kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat
menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat
muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi
menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para
filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan
tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli
ilmu kalam dan filsuf berkenaan dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada
satu madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka sendiri tidak
sepakat, tetapi mereka tetap juga digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau
Asy'ariyah, seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang Tuhan dan
apa yang harus dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara mereka tetapi
setiap kelompok mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang
terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk yang datang di
antara mereka 'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar
keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada keimanan dan
lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan
ingat Tuhanmu pada waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan
zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan mengulangi la ilaha illaAllah (tahlil) atau tasbih dan
takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu apa
yang Dia mungkinkan berupa pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu
(lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang
Dia. Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu
hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari
kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan
oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai
jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang
lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan
telah mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn
'Arabi menulis:
Di antara berbagai
kelompok, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh
pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat pencapaian pengetahuan
yang paling tinggi. Ia saja yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya
berada di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang membuat
keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh
pada tingkat permulaan. Karena itu, hanya orang yang berilmu di antara orang
yang beriman yang dipilih untuk memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa
ada Seseorang untuk kembali, dan menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka
jahil dari pengetahuan ini, aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga
sekiranya al-Haqq menampakkan diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan
menafikan-Nya dan menolak-Nya, karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh
sesuatu. Selama faktor pembatas itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya
(tajalli), mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara
kepada mereka secara langsung atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan.
Karena tidak memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan
mereka bahwa tidak mungkin siapa pun dapat melihat al-Haqq --seperti para
filsuf dan kaum Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka
niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada mereka. Diperlukan bagi orang
beriman agar cahaya imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s.
ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q., s. al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn
'Arabi dan para sufi lainnya bukan intelek dalam pengertian akal, tetapi salah
satu di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu disebut
daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn
'Arabi di sini, baik karena keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya
tulisan orang lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita katakan,
bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat
diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari
hati.
Sekali intelek
diyakinkan tentang perlunya mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai
kelahiran baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di tempat
tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan, merasakan situasi baru setiap
saat, menunggu dengan penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan
pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh
melalui hati adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan
pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada penyaksian Tuhan. Dalam istilah
al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi,
al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain sepanjang zaman kita diberi
petunjuk bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung ini.
Sebelum saya mengakhiri
makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah
al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad Rifa'i
al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam Hijriyah:
Kebanyakan orang
mengetahui Tuhan melalui berita tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad
s.a.w. Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan tubuh, tetapi
mengotori diri mereka dengan dosa dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia
dalam kebodohan dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali yang
disayangi oleh Yang Pengasih dari segala yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada
sekelompok manusia yang mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli
pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid berdasarkan dalil, ayat-ayat,
dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret.
Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada pada jalan yang benar, hanya
saja, mereka terhalang tirai dari Allah Ta'ala dengan perhatian mereka kepada
dalil-dalil mereka.
Ahli ma'rifat khusus
mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam
pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka
sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka
menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal
Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika
mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di
hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri
maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q., s.
Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal
Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih
hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga
ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu
bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata:
Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya
itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi
Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu
(Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah,
senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau
termasuk orang-orang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang
mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk
dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau
kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu".
Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas
ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala
bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu".
Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya
mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin.
Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa
dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek.
Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.
Penulis: Jalaluddin
Rakhmat (KetuaYayasan Muthahari, Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar