Para pemimpin Islam sering mengemukakan : Islam adalah
agama toleran, yang menghargai agama-agama lain. Banyak dukungan ajaran untuk
pandangan ini. Akan tetapi, amat di perlukan dewasa ini--apalagi di tengah
banyak amuk massa yang sering mengatasnamakan agama untuk konflik-konflik
sosial--ialah sosialisasi pandangan toleransi tersebut sehingga diketahui,
dihayati, dan diamalkan oleh semua lapisan umat Islam.
Sekalipun ajaran
tersebut lebih berat pada segi keharusan normatif, yang dalam banyak hal
pelaksanaannya sangat tergantung pada kenyataan, namun kesadaran mengenai hal
tersebut akan menghasilkan tindakan yang berbeda daripada jika orang tidak
menyadarinya sama sekali.
Dari
sudut ajaran Islam, kerukunan umat beragama merupakan akibat wajar dari sistem
keimanannya. Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan bahwa
beliau bukan pertama di kalangan utusan Allah (Q.46:9). Juga di tegaskan bahwa
Nabi Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, yang sebelumnya telah
lewat rasul-rasul lain (Q.3:144). Oleh karena itu, Nabi saw juga menegaskan
bahwa agama para rasul itu semuanya adalah satu dan sama, sekalipun syari'atnya
berbeda-beda.
Kesatuan
agama para nabi dan rasul itu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, adalah
karena semua berasal dari pesan atau ajaran Allah (Q.42:13). Jadi sudah
seharusnya kita menghormati keberadaan agama-agama itu tanpa
membeda-bedakannya. Justru perasaan berat untuk bersatu dalam agama itu
disebutkan sebagai sikap kaum musyrik, penyembah berhala (kaum pagan).
Sedangkan perbedaan antara berbagai agama itu hanyalah dalam bentuk-bentuk
jalan (syir'ah atau syari'ah) dan cara (minhaj) menempuh
jalan itu. Perbedaan tersebut hendaknya tidak menjadi halangan, tetapi menjadi
pangkal berlomba-lomba menuju kebaikan. Manusia tidak perlu mempersoalkan
perbedaan itu, sebab kelak di hari Kemudian Allah akan menjelaskan tentang itu
semua (Q.5:48).
Lebih
jauh disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa Allah telah mengutus rasul kepada setiap
umat di muka bumi, tanpa kecuali, dan semua rasul itu mengajarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa serta perlawanan kepada tirani. Manusia dipersilahkan mengembara
di bumi dan melihat sendiri, serta meneliti bagaimana akibat mereka yang
menolak kebenaran. Juga disebutkan dalam Al-Quran bahwa setiap kelompok manusia
atau bangsa mempunyai penunjuk jalan kebenaran, dan tidak ada satu umat pun
yang padanya tidak pernah tampil seorang pembawa peringatan (lihat, Q.16:36;13:7;
35:24;40:78). Karena setiap bangsa pernah menampilkan utusan Tuhan, maka jumlah
mereka banyak sekali dan tidak semuanya diceritakan dalam Al-Qur'an (Q.40:78).
Menurut Nabi saw sendiri, jumlah para rasul Allah itu sepanjang masa dan
seluruh muka bumi mencapai tigaratus limabelas atau sekitar itu.
Setiap
muslim wajib percaya kepada nabi dengan semua ajarannya dalam kitab-kitab suci,
tanpa membeda-bedakan seorang pun di antara mereka (Q.2:136). Memang suatu
kenyataan yang tidak dapat diingkari bahwa tidak semua ajaran dan kitab-kitab
para nabi itu telah terpelihara dengan baik sepanjang masa, sehingga memang ada
kemungkinan mengalami pengubahan-pengubahan tidak sah oleh tangan-tangan
manusia. Akan tetapi, lepas dari soal itu, Al-Qur'an diturunkan pertama-tama
adalah untuk mendukung kebenaran kitab-kitab suci yang ada di tangan umat
manusia dan melindunginya (Q.2:185).
Pada
dasarnya Al-Qur'an tetap mengakui bahwa kitab-kitab suci yang lalu itu
mengandung kebenaran yang harus dijalankan oleh para pengikutnya.. Oleh karena
itu, Allah memerintahkan kaum Yahudi dan Kristen untuk dengan sungguh-sungguh
menjalankan ajaran yang ada dalam kitab suci mereka masing-masing (Q.5:44, 47)
Bahkan Allah menjanjikan bahwa jika mereka menjalankan ajaran kitab suci
masing-masing, maka rizki dan kemakmuran akan dilimpahkan "dari atas
mereka dan dari bawah kaki mereka" (Q.5:66)
Menurut
Ibn Taymiyah, kewajiban orang Yahudi dan Kristen menjalankan ajaran kitab suci
mereka itu berlaku sepanjang masa, jika mereka tidak pindah agama (misalnya ke
dalam Islam). Ibn Taymiyah juga berpendapat bahwa sampai sekarang kitab-kitab
suci Taurat dan Injil itu masih banyak mengandung kebenaran. Perubahan,
menurutnya, hanya terjadi pada hal-hal yang bersifat berita (seperti berita
tentang bakal tampilnya Nabi Muhammad saw) dan beberapa perintah saja.
Lebih
jauh lagi menurut Ibn Taymiyah, golongan terbanyak kaum Salaf menganut
pandangan bahwa ajaran dalam kitab-kitab suci itu berlaku juga untuk umat
Islam, selama persoalannya tidak dengan jelas di-nasakh oleh Al-Qur'an
(lihat dalam kitabnya; Al-Jawab a-shahih li man baddala Din al-masih, 4
jilid, Beirut, Mathabhi' al-Majd al-Tijariah, tanpa tahun jilid I, hh.371-375).
Oleh karena itu, umat Islam sebaiknya mempelajari kitab-kitab suci itu, meski
dengan sikap kritis terhadap hal-hal yang berbeda dengan Al-Qur'an. Itulah yang
dilakukan oleh para ulama Salaf, seperti Ibn Taymiyah dan Syahristani.
Berpangkal
dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam ini, Al-Qur'an
mengajarkan bahwa umat Islam harus menghormati semua pengikut kitab suci (Ahl
al-Kitab). Sama halnya dengan semua kelompok manusia, termasuk umat Islam
sendiri, di antara kaum pengikut kitab such itu ada yang lurus dan ada yang
tidak. Dari mereka ada yang memusuhi kaum beriman, tapi juga ada yang
menunjukkan sikap persahabatan yang tulus. Dalam Al-Qur'an disebutkan terutama
kaum Nasrani sebagai yang paling dekat rasa cintanya kepada kaum beriman,
karena di antara mereka ada pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan mereka tidak
sombong (Q.5:82)
Bahkan
di Al-Qur'an memperingatkan hendaknya kaum beriman tidak melakukan generalisasi
terhadap Ahli Kitab berkenaan dengan sikap spesifik mereka. Di antara golongan
penganut kibat suci ada umat yang konsisten, yang senantiasa membaca
ajaran-ajaran Allah di tengah malan dan beribadah, beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian, melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan bergegas dalam
berbagai kebaikan. Al-Qur'an menyebut mereka itu tergolong orang-orang yang
saleh, dan menegaskan bahwa kebaikan apapun yang mereka lakukan itu tidak akan
ditolak. Bunyi lengkap terjemahan ayatnya, "Mereka--ahli Kitab
itu--tidaklah sama. Di antaranya ada golongan yang lurus, membaca ajaran-ajaran
Allah dan Hari Kemudian, dan menganjurkan yang baik dan melarang yang jahat,
dan mereka bergegas dalam berbagai kebajikan. Mereka tergolong orang-orang yang
saleh. Apa pun kebajikan yang mereka kerjakan, mereka tidak akan diingkari.
Allah Maha Tahu tentang orang yang bertaqwa." (Q.3:113-115).
Demikianlah,
agama telah mengajarkan kita suatu sikap toleran terhadap umat beragama lain.
Nabi Saw sendiri, sementara beliau keras kepada kaum musyrik, namun menjaga
pergaulan yang sangat baik dengan kaum Nasrani yang lurus. Terhadap mereka
Al-Qur'an mengatakan bahwa kaum beriman tidak boleh berdebat kecuali dengan
cara yang lebih, dari segi cara maupun isinya. Dan terhadap mereka itu pula,
kaum beriman tidak dilarang untuk bergaul dengan baik dan bersikap jujur (Q.
29:46; 60:8)?
Oleh:
Nurcholish Madjid
Catatan:
Diambil dari buku Damai Yang Terkoyak: Catatan Kelam
Dari Bumi Halmahera, penyunting: Kasman Hi. Ahmad dan Herman Oesman,
diterbitkan atas kerjasama: Kelompok Studi Podium dengan LPAM Pemuda
Muhammadiyah Maluku Utara dan Madani Press, Cetakan Pertama, April 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar