Dalam
tradisi umat Islam sejak masa klasik, Ulama adalah sosok yang cukup disakralkan
oleh mayoritas kalangan Islam. Sehingga setiap perkataan-perkataanya sangat di
perhatikan oleh umatnya, bahkan secara ekstrim menganggapnya merupakan
perkataan Tuhan, tanpa menimbang benar-salah atas apa yang disampaikannya.
Sehingga hampir disetiap Negara yang mayoritas penduduknya Islam, Pemerintah
selalu menempatkan Ulama sebagai Partner dalam menjalankan roda
pemerintahannya, mengingat posisi ulama sangat berpengaruh terhadap umatnya.
Seperti
dinegara Iran sebelum revolusi, dapat kita temukan pada saat pemerintahan Syah
Pahlevi. Dimana pada saat itu banyak Ulama yang mempertahankan status quo dimanfaatkan
oleh Syah Pahlevi untuk membenarkan sikap dan tindakannya. Bahkan jauh
sebelumnya dimasa Dinasti Umayyah dapat di ketahui, bagaimana ulama-ulama yang
membenarkan sikap otoriter yang dilakukan oleh Muawiyah saat membai’at Yazid
sebagai putra mahkota yang akan melanjutkan kepemimpinannya dalam Dinasti
Umayyah. Kemudian lewat ulama yag dilegalkan dalam Mazhab Ahlu Sunnah wal
Jama’ah pula, elit pemerintahan dalam hal ini Muawiyah mampu menyingkirkan
lawan-lawan politiknya.
Di
Indonesia sendiri yang termasuk yang
berpenduduk mayoritas muslim. Hubungan kerjasama ulama dan pemerintah
mungkin bisa kita anggap sebagai
hubungan perselingkuhan binal antara ulama dengan pemerintah. Dimana seringnya
para ulama di jadikan oleh pemerintah sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan
dan tindakanya. Sehingga menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia, yang
mayoritasnya muslim dalam merespon kebijakan dan tindakan pemerintah.
Pada
tahun 1975 Pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai bentuk
pelegalan posisi ulama secara institusi, yang dirancang oleh pemerintah sebagai
organisasi yang berjalan kooperatif dengan pemerintah. Keberadaan kelompok ulama yang terorganisir
dalam MUI adalah sebuah organisasi yang
independent, yang merupakan kelompok perwakilan seluruh ormas Islam. Yang
diharapkan menjadi penggerak ukhuwah dakwah dan pendidikan dalam masyarakat.
Gagasan
awal berdirinya MUI adalah gagasan makro
yang pernah di lahirkan oleh Depertemen Agama. Kemudian direalisasikan oleh
Mukti Ali saat menjabat kepala
Depertemen Agama. Dengan program yang menonjol selama kepemimpinannya yaitu pertama,
masalah
kerukunan umat beragama dengan menggagas perlunya tradisi dialog
antaragama. Kedua, menjadikan agama sebagai landasan
pembangunan nasional, dan ketiga pemberdayaan kepemimpinan
umat.
Tapi
dalam realitasnya, kelompok Ulama berperilaku melenceng dari kepentingan
didirikanya. Fatwa
MUI memperlihatkan sejumlah bias kepentingan politis pemerintah. Sehingga dalam
masyarkat luas, khusunya ummat islam, terjadi pro-kontra terhadap fatwa-fatwa
yang dikeluarkan MUI. Sebab dirasakan bahwa setiap fatwa yang
di keluarkan oleh Ulama, selalu berjalan di bawah tekanan rezim orde baru, dari setiap
kebijakan-kebikan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut.
Berdasarkan penelitian
Atho Mudhar, terdapat 9 Fatwa MUI yang
nampak sebagai perselingkuhan binal pemerintah
dan ulama, sepanjang tahun 1975-1988, zaman orde baru.
1. Gerakan
syiah di iran
2. Penyembelihan
hewan qurban dengan mesin
3. Penjatuhan
talaq tiga
4. Pembudidayaan
dan memakan daging kodok
5. Keluarga
Bencana dan Penggunaan IUD
6. Hukum
Makan daging kelinci
7. Haramnya
pengguguran kandungan
8. Larangan
Vasektomi dan tubektomi
9. Larangan
bagi kaum muslimin hadir dalam perayaan natal
Dari hubungan
perselingkuhan binal dizaman orde baru, tentunya akan merugikan masyarakat
secara luas, khususnya umat muslim Indonesia. Selain itu akan memberikan dampak
instabilitas politik nasional. Seharusnya Ulama kita berkomitmen terhadap tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin umat muslim. Wajib bersifat netral dalam
mengeluarkan fatwa, berpihak pada kebenaran, dan tidak sektarian (Mazhab)
Sesuai tuntunan Al-Quran dan Sunnah.
Penulis : Aksan Al-Bimawi
(Ketua Umum LKIMB UNM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar