Rabu, 04 April 2012

Epos Perempuan Bugis Makassar Yang Hampir Dilupakan

Kembali melihat awal abad 17 sampai abad 18 di Eropa saat terjadi revolusi pencerahan di Belanda, revolusi industri di Perancis, dan revolusi sosial-politik di Amerika Serikat, maka bermunculanlah sekelompok perempuan membawa isu-isu gender dan feminisme. Motivasi gerakannya adalah adanya ketidakadilan gender, menuntut persamaan hak laki-laki dan perempuan, serta penegasan indentitas kaum perempuan, khususnya di Eropa. Berlanjut pada abad 19 dengan corak dekonstruksinya pada wacana gender dan feminisme, sampai sekarang wacana tersebut masih sering diperbincangkan diberbagai daerah termasuk Indonesia. Pun pada masyarakat Bugis-Makassar.







Tradisi masyarakat Bugis-Makassar, dikenal dengan keterlibatan kaum laki-laki yang lebih dominan pada pengambilan kebijakan (budaya patriarkhi). Meski demikian, budaya patriarkhi tidak serta-merta meruntuhkan peran-peran perempuan Bugis-Makassar karena lembaran-lembaran sejarah juga mencatat, banyak perempuan-perempuan yang tidak kalah hebatnya dengan laki-laki dari Bugis-Makassar. Artinya dalam tradisi Bugis-Makassar, harmonisasi peran laki-laki dan perempuan berusaha ditanamkan. Meski demikian, perbincangan tentang isu-isu gender dan feminisme tetap mewarnai harmonisasi ini dengan mengatasnamakan budaya patriarkhi sebagai dalang keterpurukan perempuan Bugis-Makassar versi feminisme barat. Namun, apabila kita melihat ke belakang, merangkum kembali sejarah panjang peradaban Bugis-Makassar, kita akan banyak menjumpai pemimpim-pemimpin perempuan yang memerintah kerajaan di seluruh pelosok semenanjung selatan pulau Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar.

Dalam tradisi Bugis-Makassar, peran perempuan tidak hanya dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Tetapi juga, perempuan Bugis-Makassar sudah ikut mendominasi pranata sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan yang ada jauh sejak masa epos La Galigo mula dikisahkan. Nenek moyang Bugis-Makassar yang disebut Tomanurung dikisahkan tidak saja hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi bangunan kebudayaan.
Selain itu, dikenal juga sosok Colliq Pujié. Beliau adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan (ikut andil dalam menyusun naskah La Galigo), negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar. Prinsip hidupnya adalah “ininnawakku muwita. Mau natuddu’ solo’. Mola linrung muwa” (lihatlah keadaan batinku. Walaupun dihempas arus deras ‘kesusahan’. Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar).

Satu lagi di antara raja perempuan Bugis yang namanya nyaris terlupakan adalah Raja Tanete, bernama Siti Aisyah We Tenri Olle putri ke-2 La Tunampare’ To Apatorang Arung Ujung, yang memerintah kerajaan Tanete cukup lama, selama 55 tahun dari tahun 1855 – 1910. Di tangannyalah, popularitas Tanete melintasi samudera dan benua hingga ke Eropa melalui kontribusinya menerjemahkan mahakarya epos Lagaligo dari bahasa Bugis Kuno ke bahasa Bugis umum.
Selain itu, dalam sejarah masih tercatat beberapa penguasa perempuan Bugis-Makassar seperti, We Tenri Rawe (Raja/Pajunge ri Luwu, abad 14), Adatuang We Abeng (1634, Ratu Sidenreng), Datu Pattiro We Tenrisoloreng (1640-Bone), We Batari Toja Daeng Tallang (1724 – Bone), Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne (1700an, Sidenreng), Soledatu We Ada (ratu Soppeng, istri Arung Palakka, 1670), We Maniratu Arung Datak (1840-Bone), Besse Kajuara (1860-Bone), Andi Ninong dan Petta Ballasari (Ranreng Matoa Wajo, abad 20), Andi Depu, Datu Balanipa Mandar, Andi Pancaetana (1915, penguasa Enrekang).

Di tanah Luwu, kita mengenal sosok Opu Daeng Risadju yang merupakan pelopor partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda.  Dia masyur dengan kalimatnya bahwa “Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”

Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis-Makssar dalam masyarakatnya: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (perempuan Bugis-Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privasi atau dipekerjakan paksa sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain). Pernyataan ini, seharusnya mendapat perhatian dari pemerhati perempuan dan penggiat forum-forum diskusi keperempuanan agar aras pergerakannya jelas. Bahwa perempuan Bugis-Makassar, tidak mengalami eksploitasi dalam segala bentuk, tetapi mereka eksis dan diagungkan dalam tradisinya.

Dalam epos perempuan Bugis-Makassar, motivasi gerakan serta ideologi geraknya jelas, mengakar, dan mendunia. Sehingga tidak mesti mencontoh gerakan perempuan yang digagas oleh perempuan-perempuan Eropa dengan basis dan ideologi gerakan yang tidak mengakar. Indonesia umumnya, dan Bugis-Makassar khususnya memiliki banyak tokoh-tokoh perempuan yang bisa diteladani. Anehnya, generasi sekarang nyaris melupakan tokoh-tokoh tersebut. Hal ini disebabkan karena kita lebih merasa modern jika mengetahui tokoh-tokoh perempuan dunia, dan merasa tidak modern dengan kearifan lokalnya. Olehnya itu, menyambut hari perempuan sedunia pada tanggal 8 maret 2012 besok, mestinya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang mengarahkan generasi muda lebih akrab dengan lokalitasnya, khususnya tokoh-tokoh perempuan Bugis-Makassar. Bukan justru meneriakkan persamaan hak laki-laki dan perempuan pada persoalan-persoalan materil semata, sebagaimana sejarah lahirnya hari perempuan internasional. Menengok kembali pernyataan Thomas Stanford Raffles yang disebutkan di atas, maka perempuan Bugis-Makassar tidak usah resah dan ikut-ikutan dengan gejolak wacana keperempuanan yang telah ditelikung oleh sebuah lingkaran buntu. Selamat hari perempuan sedunia....


Penulis: Muchniart Az (Alumni LKIMB UNM)
Makassar, 07 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar