Kembali melihat awal abad 17 sampai abad 18 di Eropa saat terjadi
revolusi pencerahan di Belanda, revolusi industri di Perancis, dan
revolusi sosial-politik di Amerika Serikat, maka bermunculanlah
sekelompok perempuan membawa isu-isu gender dan feminisme. Motivasi
gerakannya adalah adanya ketidakadilan gender, menuntut persamaan hak
laki-laki dan perempuan, serta penegasan indentitas kaum perempuan,
khususnya di Eropa. Berlanjut pada abad 19 dengan corak dekonstruksinya
pada wacana gender dan feminisme, sampai sekarang wacana tersebut masih
sering diperbincangkan diberbagai daerah termasuk Indonesia. Pun pada
masyarakat Bugis-Makassar.
Tradisi masyarakat
Bugis-Makassar, dikenal dengan keterlibatan kaum laki-laki yang lebih
dominan pada pengambilan kebijakan (budaya patriarkhi). Meski demikian,
budaya patriarkhi tidak serta-merta meruntuhkan peran-peran perempuan
Bugis-Makassar karena lembaran-lembaran sejarah juga mencatat, banyak
perempuan-perempuan yang tidak kalah hebatnya dengan laki-laki dari
Bugis-Makassar. Artinya dalam tradisi Bugis-Makassar, harmonisasi peran
laki-laki dan perempuan berusaha ditanamkan. Meski demikian,
perbincangan tentang isu-isu gender dan feminisme tetap mewarnai
harmonisasi ini dengan mengatasnamakan budaya patriarkhi sebagai dalang
keterpurukan perempuan Bugis-Makassar versi feminisme barat. Namun,
apabila kita melihat ke belakang, merangkum kembali sejarah panjang
peradaban Bugis-Makassar, kita akan banyak menjumpai pemimpim-pemimpin
perempuan yang memerintah kerajaan di seluruh pelosok semenanjung
selatan pulau Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar.
Dalam
tradisi Bugis-Makassar, peran perempuan tidak hanya dijadikan simbol
kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya.
Tetapi juga, perempuan Bugis-Makassar sudah ikut mendominasi pranata
sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan yang ada jauh sejak masa
epos La Galigo mula dikisahkan. Nenek moyang Bugis-Makassar yang disebut
Tomanurung dikisahkan tidak saja hanya seorang lelaki bernama Batara
Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita
bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya
sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi
bangunan kebudayaan.
Selain itu, dikenal juga sosok Colliq Pujié.
Beliau adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad
ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis,
sastrawan (ikut andil dalam menyusun naskah La Galigo), negarawan,
politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di
Makassar. Prinsip hidupnya adalah “ininnawakku muwita. Mau natuddu’ solo’. Mola linrung muwa” (lihatlah keadaan batinku. Walaupun dihempas arus deras ‘kesusahan’. Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar).
Satu
lagi di antara raja perempuan Bugis yang namanya nyaris terlupakan
adalah Raja Tanete, bernama Siti Aisyah We Tenri Olle putri ke-2 La
Tunampare’ To Apatorang Arung Ujung, yang memerintah kerajaan Tanete
cukup lama, selama 55 tahun dari tahun 1855 – 1910. Di tangannyalah,
popularitas Tanete melintasi samudera dan benua hingga ke Eropa melalui
kontribusinya menerjemahkan mahakarya epos Lagaligo dari bahasa Bugis
Kuno ke bahasa Bugis umum.
Selain itu, dalam sejarah masih tercatat beberapa penguasa perempuan Bugis-Makassar seperti, We Tenri Rawe (Raja/Pajunge ri Luwu,
abad 14), Adatuang We Abeng (1634, Ratu Sidenreng), Datu Pattiro We
Tenrisoloreng (1640-Bone), We Batari Toja Daeng Tallang (1724 – Bone),
Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne (1700an, Sidenreng), Soledatu We
Ada (ratu Soppeng, istri Arung Palakka, 1670), We Maniratu Arung Datak
(1840-Bone), Besse Kajuara (1860-Bone), Andi Ninong dan Petta Ballasari
(Ranreng Matoa Wajo, abad 20), Andi Depu, Datu Balanipa Mandar, Andi
Pancaetana (1915, penguasa Enrekang).
Di tanah Luwu, kita
mengenal sosok Opu Daeng Risadju yang merupakan pelopor partai Sarikat
Islam yang menentang kolonialisme Belanda. Dia masyur dengan kalimatnya
bahwa “Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam
tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan
gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari
dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya
diperlakukan tidak sepantasnya.”
Dalam buku
History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum
akan peran perempuan Bugis-Makssar dalam masyarakatnya: “the women
are held in more esteem than could be expected from the state of
civilization in general, and undergo none of those severe hardships,
privations or labours that restrict fecundity in other parts of the
world” (perempuan Bugis-Makassar menempati posisi yang lebih
terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan
kekerasan, pelanggaran privasi atau dipekerjakan paksa sehingga
membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di
belahan dunia lain). Pernyataan ini, seharusnya mendapat perhatian dari
pemerhati perempuan dan penggiat forum-forum diskusi keperempuanan agar
aras pergerakannya jelas. Bahwa perempuan Bugis-Makassar, tidak
mengalami eksploitasi dalam segala bentuk, tetapi mereka eksis dan
diagungkan dalam tradisinya.
Dalam epos perempuan
Bugis-Makassar, motivasi gerakan serta ideologi geraknya jelas,
mengakar, dan mendunia. Sehingga tidak mesti mencontoh gerakan perempuan
yang digagas oleh perempuan-perempuan Eropa dengan basis dan ideologi
gerakan yang tidak mengakar. Indonesia umumnya, dan Bugis-Makassar
khususnya memiliki banyak tokoh-tokoh perempuan yang bisa diteladani.
Anehnya, generasi sekarang nyaris melupakan tokoh-tokoh tersebut. Hal
ini disebabkan karena kita lebih merasa modern jika mengetahui
tokoh-tokoh perempuan dunia, dan merasa tidak modern dengan kearifan
lokalnya. Olehnya itu, menyambut hari perempuan sedunia pada tanggal 8
maret 2012 besok, mestinya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang
mengarahkan generasi muda lebih akrab dengan lokalitasnya, khususnya
tokoh-tokoh perempuan Bugis-Makassar. Bukan justru meneriakkan persamaan
hak laki-laki dan perempuan pada persoalan-persoalan materil semata,
sebagaimana sejarah lahirnya hari perempuan internasional. Menengok
kembali pernyataan Thomas Stanford Raffles yang disebutkan di atas, maka
perempuan Bugis-Makassar tidak usah resah dan ikut-ikutan dengan
gejolak wacana keperempuanan yang telah ditelikung oleh sebuah lingkaran
buntu. Selamat hari perempuan sedunia....
Penulis: Muchniart Az (Alumni LKIMB UNM)
Makassar, 07 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar